Rabu, 10 Desember 2014

WARISAN LELUHUR TRADISI KEBO-KEBOAN DI ALASMALANG SINGOJURUH BANYUWANGI





WARISAN LELUHUR TRADISI KEBO-KEBOAN DI ALASMALANG SINGOJURUH BANYUWANGI

LAPORAN PENELITIAN
Tugas ini untuk menyelesaikan Tugas Akhir Semester
Mata Kuliah Sejarah Lokal


Oleh:
Dwi Agustin Puji Lestari
NIM 130210302062
Kelas C


PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Banyuwangi kota dengan segudang kebudayaan warisan leluhur. Salah satu warisan kebudayaaan tersebut adalah Tradisi “Kebo-keboan”. “Kebo-keboan” yang dimaksud disini adalah warisan budaya didesa desa dalam kawasan Golden Triangle Istana Blambangan, yaitu;  Bayu, Macan Putih, Kota Lateng. Kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. . “Kebo-keboan” merupakan suatu upacara adat yang dilakukan setiapa tahunnya pada bulan Suro antara tanggal 1 sampai tanggal 10.
Upacara kebo-keboan  bertujuan untuk menghindari wabah penyakit bagi tanaman mereka dan keselamatan pada masyaraknya sendiri, awalnya upacara ini bertujuan untuk meminta hujan pada saat musim kemarau yang panjang dan dengan turunnya hujan petani bisa bercocok tanam lagi.
Unsur-unsur  upacara  dalam  upacara  adat  kebo-keboan  adalah:  berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, pawai ider bumi. Pelaksanaan dari upacara tersebut bertahap dan tahapanya yaitu; tahap selamatan di Petaunan, tahap ider bumi atau arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan, dan tahap ritual kebo-keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan. Tahap selamatan di Petaunan, pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan.
Kerbau adalah lambang kebaikan dari Dewi Durga Mahisasumardani tetapi mengapa dalam perayaan Kebo Keboan atau dalam upacara slametan sawah  wong Blambangan lebih mengaitkan dengan dewi Sri? Dalam ajaran Hindu kuno, yang tercantum dalam kitab Purana , yang berkembang di India  ( Jambudwipa) dewi Durga Mahisasuramardani, permaisuri Dewa Siva, memiliki dua sisi yaitu kebaikan dan kejahatan. Tetapi dalam pola pikir dan dasar kepercayaan  dalam masyarakat Jawa/ Nusantara atau Javadwipa/ Swarnadwipa, kebaikan dan keburukan tidak mungkin bersatu. Oleh karena itu Dewi Durga akhirnya menjadi lambang keburukan dan dikenal sebutan Bhatari Durga, sedang lambang kesuburan adalah Dewi Shri Laksmi  permaisuri Dewa Wisnu .
Ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan penggambaran  Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Padi yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka dilumuri arang ditambah rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya seekor  kerbau ) dan dibawa  oleh para petani dengan  hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi atau  prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung

1.1.1   Penegasan Judul
Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan.
Upacara kebo-keboan  bertujuan untuk menghindari wabah penyakit bagi tanaman mereka dan keselamatan pada masyaraknya sendiri, awalnya upacara ini bertujuan untuk meminta hujan pada saat musim kemarau yang panjang dan dengan turunnya hujan petani bisa bercocok tanam lagi. Unsur-unsur  upacara  dalam  upacara  adat  kebo-keboan  adalah:  berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, pawai ider bumi.
Kebo Keboan jauh dari pengertian ritual keagamaan, karena sudah tidak berkaitan lagi dengan upacara keagamaan,melainkan lambang kebesaran Blambangan.
Sebagai Lambang Kerajaan , maka lambang Kerbau sangat penting untuk jati diri wong Blambangan. Maka tidak heran Sunan Giri , yang  keturunan darah biru Blambangan . Beliau adalah putra  dewi Sekar Dalu  , putri Bhre Pangembangan , cucu Bhree Wirabhumi , cicit prabu Rajasa Negara ( Hayam Wuruk ),( Wangsa Sanggramawijaya, Wangsa Isyana Singosari , Wangsa Isyana Kediri , dari putri mahkota Airlangga yaitu  Sanggramawijaya /Dewi Kili Suci )dengan  Maulana IskaK atau Syech Wali Lanang ( Lelaning Jagad ) , guru para wali , yang memiliki garis keturunan langsung dari Rasullulah,  memulai kegiatan keagamaan, dengan  membangun pesantren disatu desa yang kemudian dijuluki Kebo Mas.
Dengan perubahan zaman yang semakin modern ini namun setiap tahun masyarakat Banyuwangi berupaya keras mempertahankan kemurnian dan kesakralan kebudayaan mereka dan dengan  banyaknya sederetan tahapan dan pihak- pihak yang terlibat. Hambatan-hambatan yang ada baik dari segi material maupun finansial. Dari penjelasan mengenai tradisi kebo keboan tersebut maka peneliti memberi judul penelitian ini dengan judul “Warisan Leluhur Tradisi Kebo-keboan Alasmalang Singojuruh Banyuwangi”.
1.1.2    Batasan masalah
Dalam prosesi adat ini banyak unsur-unsur sosial, budaya, ekonomi dan agama. Dengan banyaknya unsur-unsur tersebut peneliti dapat mempersempit penelitian dengan meneliti dua unsur yaitu unsur sosial dan ekonomi.

1.2  Rumusan masalah
1.      Sejak kapan Tradisi Kebo-keboan dilaksanakan sebagai warisan budaya?
2.      Bagaimanaa pelaksanaan dan siapa yang berperan dalam acara kebo-keboan?
3.      Apa tujuan dari pelaksanaan ritual kebo-keboan tersebut?
4.      Apakah dampak ritual ini terhadap masyarakat setempat?

1.3  Tujuan dan Manfaat

1.3.1    Tujuan
1.      Mengkaji sejak kapan tradisi Kebo-keboan ini ada,
2.      Mengkaji pelaksanaan ritual kebo-keboan,
3.      Mengkaji tujuan dari pelaksanaaan tradisi kebo-keboan,
4.      Mengkaji dampak-dampk ritual kebo-keboan terhadap masyarakat setempat


1.3.2    Manfaat
Manfaaat dari penelitian ini agar pembaca dapat mengetahui tradisi yang sudah ada sejak lama dan tetap dilaksanakan demi menjaga warisan budaya agar tetap terjaga dan lestari meskipun dengan banyak hambatn dalam setia pelaksanannya.
Dan manfaat dari hasil penelitian tersebut sebagai berikut
1.      Mengetahui sejak kapan tradisi kebo-keboan ini berlangssung dan masyarakat akan lebih mengetahuai hal tersebut.
2.      Mengetahui dan mengerti pelaksanaan ritual kebo-keboan tersebut.
3.      Mengetahui tujuan dan dampak ritual ini terhadap masyarakaat setempat.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kebudayaan berhubungan erat dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan istilah Cultural-Determinism yaitu, segala sesuatu yang ada di masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Andreas Eppink berpendapat bahwa, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai dan norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada perkembangan,  pengembangan,  penerapan  budaya  dalam  kehidupan,  berkembang pula nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Upacara kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius.
Menurut Durkheim Agama adalah merupakan suatu sistem yang terpadu terdiri atau kenyakinan dan praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam  suatu komunitas moral yang di namakan umat. Dalam setiap pelaksanan suatu ritual yang sudah turun-temurun maka unsur agama selalu ada di dalam setiap ritual upacara. Seperti halnya dalam upacara tradisi kebo-keboan ini sarat akan unsur agama. Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.
Unsur-unsur sosial yang pokok menurut Soerjono Soekanto adalah Kelompok sosial, Kebudayaan, Lembaga sosial, Stratifikasi sosial, Kekuasaan dan wewenang. Manusia sebagai mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu, struktur sosial merupakan alat bagi masyarakat untuk menyelenggarakan tata kehidupannya sehingga struktur sosial tersebut memiliki fungsi.  Sama dengan pelaksanaan Tradisi Kebo-keboan yang dilaksanakan dengan semangat kebersamaan dan kegotong-royongaan, karena setiap unsur dari masyarakat tersebut ikut andil didalam prosesi upacara tersebut, mulai dari acara selamatan, ider bumi, dan acara puncak dari kebo-keboan tersebut. Maka unsur sosial di dalam kegiatan ini sangatlah sakral karena tanpa masyarakat sendiri budaya ini lambat laun akan menghilang dan karena masyarakt juga budaya ini akan tetap terjaga kelestarianya. Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan suatu acara membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan acara besar-besaran seperti ritual Kebo-keboan ini yang memakan dana besar maka dibutuhkanlah suatu sponsor untuk mendukung acara tersebut tetap berjalanRitual ini semula menjadi bagian penting dalam menjaga tradisi leluhur, oleh karena itu pembiayaannya menjadi tanggung jawab bersama masyarakat desa.Tetapi mengingat tingkat kesejahteraan masyarakat , serta pengaruh budaya modern yang pragmatis, maka sejak tahun 60an penyelenggara Kebo Keboan di Banyuwangi mulai berkurang, dan hilang pada masa Orde Baru. Setelah reformasi tradisi Kebo Keboan , muncul kembali didesa Alasmalang, berkat usaha Seniman Budayawan Sahuni, menggandeng salah satu TV Swasta untuk menghidupkan tradisi tersebut . Sejak itulah penyelenggaraan Kebo Keboan , mendapat dukungan sponsor .
Maka seharusnya difahami bahwa perayaan Kebo Keboan, didesa desa dalam kawasan Golden Triangle Istana Blambangan, adalah pesan penting dari para leluhur Blambangan bahwa wong Blambangan mempunyai sejarah yang panjang, jelas dan membanggakan .Maka tidak aneh , karena bangganya leluhur Blambangan terhadap jati dirinya , maka kerajaan ini tetap exist sampai tahun 1771, menjadi kerajaan Jawa terakhir yang tunduk terhadap VOC. Maka pernyataan bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun dijajah Belanda tidak berlaku untuk Blambangan. Dan perang besar inipun diakhiri dengan Puputan Bayu. Perang tersadis sepanjang sejarah Nusantara menurut Dr. Sri Margana .  Scholte (1927:146) berkata : Maka tidak heran penulis sejarah bangsa Belanda Scholte dan Sir Stanford Rafflees, yang mengetahui dengan detail sejarah  suku ini dengan hormat tetap menyebut suku ini sebagai Suku Blambangan,suku pemberani.


BAB III
METODE

Metode sejarah berasal dari dua kata yaitu metode dan sejarah. Kata "metode" memiliki arti cara atau prosedur yang sifatnya sistematis, metode juga dapat diartikan sebagai langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menjelaskan objek yang dikajinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan guna mencapai apa yang telah ditentukan”. Dengan kata lain metode adalah suatu cara yang sistematis untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, sejarah adalah semua peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Menurut Sartono Kartodirdjo sejarah dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau. Setiap pengungkapannya dapat dipandang sebagai suatu aktualisasi atau pementasan pengalaman masa lampau. Menceritakan suatu kejadian ialah cara membuat hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa tersebut dengan pengungkapan verbal.

1.Heuristik
            Heuristik adalah suatu teknik, mencari dan mengumpulkan sumber. Jadi Heuristik adalah tahap mencari, mengumpulkan, menghimpun sumber-sumber, jejak-jejak sejarah yang relevan yang diperlukan untuk dijadikan informasi. Tahap ini merupakan tahap pertama yang harus dilakukan dalam merekonstruksi masa lampau. Ketika kita akan merekonstruksi masa lampau, kita harus melakukan pencarian sumber, dalam pencarian sumber perlu diketahui mengenai jenis-jenis sumber.
Guna menemukan sumber yang di inginkan tentang “kebo-keboan” tersebut peneliti menggunakan metode wawancara, pengumpulan data baik dari sumber tertulis maupun secara lisan. Sumber lisan ini dalam bentuk wawancara terhadap masyarakat sekitar desa Alasmalang yang mengadakan ritual kebo-keboan ini, wawancara terhadap pemangku adat desa Alasmalang.

2.Kritik Sumber
Sumber untuk penulisan sejarah ilmiah bukan sembarang sumber, tetapi sumber-sumber itu terlebih dahulu harus dinilai melalui kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan, apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu. Dengan kata lain, kritik ekstern menilai keakuratan sumber (otentisitas). Kritik intern menilai kesahihannya data dalam sumber (kredibilitas). Keaslian sumber (otentisitas) adalah peneliti melakukan pengujian atas asli tidaknya sumber, berarti ia menyeleksi segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan. Bila sumber itu merupakan dokumen tertulis, maka harus diteliti kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, dan hurufnya.
Keshahihan sumber (kreedibilitas) yaitu mencari asal muasal sumber berasal karena kesaksian sumber dalam sejarah adalah faktor terpenting dalam menentukan shahih dan tidaknya bukti atau fakta itu sendiri. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka tulisan. di dalam kritik ekesternal terdapat pertanyaan – pertanyaan yang dianggap perlu untuk mengetahui hal – hal yang kita teliti seperti apa tradisi ritual “Kebo-keboan”?Apa tujuan dari prosesi adat upacara  “kebo-keboan”?dan Bagaimana masyarakat melestarikan budaya “kebo-keboan” yang sudah turun temurun ini?

3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber. Jadi interpretasi untuk mendapatkan makna dan saling hubungan antara fakta yang satu dengan yang lainnya. Data atau sumber sejarah yang dikritik akan menghasilkan fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Namun demikian, sejarah itu sendiri bukanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh, kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka yang apa¬bila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai makna. Fakta-fakta sejarah harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar sesuatu peristiwa dapat direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal. Dengan demikian, tidak hanya pertanyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab, tetapi juga yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya.
Dalam interpretasi, seorang sejarawan tidak perlu terkekang oleh batas-batas kerja bidang sejarah semata, sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk memahami kompleksitas sesuatu peristiwa, maka mau tidak mau sejarah memerlukan pendekatan multidimensi. Dengan demikian, berbagai ilmu bantu perlu dipergunakan dengan tujuan mempertajam analisis sehingga diharapkan dapat diperoleh generalisasi ke tingkat yang lebih sempurna. Perlu pula dikemukakan di sini, bahwa dalam tahapan interpretasi inilah subjektifitas sejarawan bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau demikian, seorang sejarawan harus berusaha sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan tahu posisi dirinya sehingga nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.
Kebo Keboan jauh dari pengertian ritual keagamaan, karena sudah tidak berkaitan lagi dengan upacara keagamaan,melainkan lambang kebesaran Blambangan. Sebagai Lambang Kerajaan , maka lambang Kerbau sangat penting untuk jati diri wong  Blambangan. Maka tidak heran Sunan Giri , yang  keturunan darah biru Blambangan . Beliau adalah putra  dewi Sekar Dalu  , putri Bhre Pangembangan , cucu Bhree Wirabhumi , cicit prabu Rajasa Negara ( Hayam Wuruk ),( Wangsa Sanggramawijaya, Wangsa Isyana Singosari , Wangsa Isyana Kediri , dari putri mahkota Airlangga yaitu  Sanggramawijaya /Dewi Kili Suci )dengan  Maulana IskaK atau Syech Wali Lanang ( Lelaning Jagad ) , guru para wali , yang memiliki garis keturunan langsung dari Rasullulah memulai kegiatan keagamaan, dengan  membangun pesantren disatu desa yang kemudian dijuluki Kebo Mas.
Maka seharusnya difahami bahwa perayaan Kebo Kebo an, didesa desa dalam kawasan Golden Triangle Istana Blambangan, adalah pesan penting dari para leluhur Blambangan bahwa wong Blambangan mempunyai sejarah yang panjang, jelas dan membanggakan .Maka tidak aneh , karena bangganya leluhur Blambangan terhadap jati dirinya ,

4. Historiografi
Historiografi adalah penyajian hasil interpretasi fakta dalam bentuk tulisan. Dapat dikatakan historiografi sebagai puncak dari rangkaian kerja seorang sejarawan, dan dari tahapan inilah dapat diketahui baik buruknya hasil kerja secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam penulisan diperlukan kemampuan menyusun fakta-fakta yang bersifat fragmentaris ke dalam tulisan yang sistematis, utuh, dan komunikatif. Dalam penulisan sejarah aspek kronologi sangat penting. Dalam historiografi modern (sejarah kritis), seorang sejarawan yang piawai tidak lagi terpaku kepada bentuk penulisan yang naratif atau deskriptif, tetapi dengan multidimensionalnya lebih mengarah kepada bentuk yang analitis karena dirasakan lebih ilmiah dan mempunyai kemampuan memberi keterangan yang lebih unggul dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh sejarawan konvensional dengan sejarah naratifnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar