WARISAN
LELUHUR TRADISI KEBO-KEBOAN DI ALASMALANG SINGOJURUH BANYUWANGI
LAPORAN PENELITIAN
Tugas
ini untuk menyelesaikan Tugas Akhir Semester
Mata
Kuliah Sejarah Lokal
Oleh:
Dwi Agustin Puji Lestari
NIM
130210302062
Kelas
C
PROGAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Banyuwangi
kota dengan segudang kebudayaan warisan leluhur. Salah satu warisan kebudayaaan
tersebut adalah Tradisi “Kebo-keboan”. “Kebo-keboan” yang dimaksud disini
adalah warisan budaya didesa
desa dalam kawasan Golden Triangle Istana Blambangan, yaitu; Bayu, Macan Putih, Kota Lateng. Kebo-keboan
dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan
Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. . “Kebo-keboan” merupakan suatu upacara adat
yang dilakukan setiapa tahunnya pada bulan Suro antara tanggal 1 sampai tanggal
10.
Upacara kebo-keboan bertujuan untuk menghindari wabah penyakit
bagi tanaman mereka dan keselamatan pada masyaraknya sendiri, awalnya upacara
ini bertujuan untuk meminta hujan pada saat musim kemarau yang panjang dan
dengan turunnya hujan petani bisa bercocok tanam lagi.
Unsur-unsur upacara
dalam upacara adat
kebo-keboan adalah: berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang
telah disucikan dengan doa, pawai ider bumi. Pelaksanaan dari upacara tersebut
bertahap dan tahapanya yaitu; tahap selamatan di Petaunan, tahap ider bumi atau
arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan, dan tahap ritual kebo-keboan yang
dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan. Tahap selamatan di Petaunan,
pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan.
Kerbau
adalah lambang kebaikan dari Dewi Durga Mahisasumardani tetapi mengapa dalam
perayaan Kebo Keboan atau dalam upacara slametan sawah wong Blambangan lebih mengaitkan dengan dewi
Sri? Dalam ajaran Hindu kuno, yang tercantum dalam kitab Purana , yang
berkembang di India ( Jambudwipa) dewi
Durga Mahisasuramardani, permaisuri Dewa Siva, memiliki dua sisi yaitu kebaikan
dan kejahatan. Tetapi dalam pola pikir dan dasar kepercayaan dalam masyarakat Jawa/ Nusantara atau
Javadwipa/ Swarnadwipa, kebaikan dan keburukan tidak mungkin bersatu. Oleh
karena itu Dewi Durga akhirnya menjadi lambang keburukan dan dikenal sebutan
Bhatari Durga, sedang lambang kesuburan adalah Dewi Shri Laksmi permaisuri Dewa Wisnu .
Ritual
Kebo-Keboan ini diawali dengan penggambaran
Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Padi yang ditandu oleh beberapa
pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan
dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka dilumuri arang
ditambah rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu
berwarna hitam tergantung di leher layaknya seekor kerbau ) dan dibawa oleh para petani dengan hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai
ider bumi atau prosesi mengelilingi
kampung dari hilir hingga ke hulu kampung
1.1.1
Penegasan Judul
Tradisi merupakan gambaran sikap dan
perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara
turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk
berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan.
Upacara kebo-keboan bertujuan untuk menghindari wabah penyakit
bagi tanaman mereka dan keselamatan pada masyaraknya sendiri, awalnya upacara
ini bertujuan untuk meminta hujan pada saat musim kemarau yang panjang dan
dengan turunnya hujan petani bisa bercocok tanam lagi. Unsur-unsur upacara
dalam upacara adat
kebo-keboan adalah: berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang
telah disucikan dengan doa, pawai ider bumi.
Kebo
Keboan jauh dari pengertian ritual keagamaan, karena sudah tidak berkaitan lagi
dengan upacara keagamaan,melainkan lambang kebesaran Blambangan.
Sebagai
Lambang Kerajaan , maka lambang Kerbau sangat penting untuk jati diri wong
Blambangan. Maka tidak heran Sunan Giri , yang
keturunan darah biru Blambangan . Beliau adalah putra dewi Sekar Dalu , putri Bhre Pangembangan , cucu Bhree
Wirabhumi , cicit prabu Rajasa Negara ( Hayam Wuruk ),( Wangsa Sanggramawijaya,
Wangsa Isyana Singosari , Wangsa Isyana Kediri , dari putri mahkota Airlangga
yaitu Sanggramawijaya /Dewi Kili Suci
)dengan Maulana IskaK atau Syech Wali
Lanang ( Lelaning Jagad ) , guru para wali , yang memiliki garis keturunan
langsung dari Rasullulah, memulai
kegiatan keagamaan, dengan membangun
pesantren disatu desa yang kemudian dijuluki Kebo Mas.
Dengan perubahan zaman yang semakin
modern ini namun setiap tahun masyarakat Banyuwangi berupaya keras
mempertahankan kemurnian dan kesakralan kebudayaan mereka dan dengan banyaknya sederetan tahapan dan pihak- pihak
yang terlibat. Hambatan-hambatan yang ada baik dari segi material maupun
finansial. Dari penjelasan mengenai tradisi kebo keboan tersebut maka peneliti
memberi judul penelitian ini dengan judul “Warisan Leluhur Tradisi Kebo-keboan
Alasmalang Singojuruh Banyuwangi”.
1.1.2 Batasan masalah
Dalam prosesi adat ini banyak
unsur-unsur sosial, budaya, ekonomi dan agama. Dengan banyaknya unsur-unsur
tersebut peneliti dapat mempersempit penelitian dengan meneliti dua unsur yaitu
unsur sosial dan ekonomi.
1.2
Rumusan
masalah
1. Sejak kapan Tradisi Kebo-keboan
dilaksanakan sebagai warisan budaya?
2. Bagaimanaa pelaksanaan dan siapa
yang berperan dalam acara kebo-keboan?
3. Apa tujuan dari pelaksanaan ritual
kebo-keboan tersebut?
4. Apakah dampak ritual ini terhadap
masyarakat setempat?
1.3
Tujuan
dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
1.
Mengkaji
sejak kapan tradisi Kebo-keboan ini ada,
2.
Mengkaji
pelaksanaan ritual kebo-keboan,
3.
Mengkaji
tujuan dari pelaksanaaan tradisi kebo-keboan,
4.
Mengkaji
dampak-dampk ritual kebo-keboan terhadap masyarakat setempat
1.3.2 Manfaat
Manfaaat dari penelitian ini agar
pembaca dapat mengetahui tradisi yang sudah ada sejak lama dan tetap
dilaksanakan demi menjaga warisan budaya agar tetap terjaga dan lestari
meskipun dengan banyak hambatn dalam setia pelaksanannya.
Dan manfaat dari hasil penelitian
tersebut sebagai berikut
1.
Mengetahui
sejak kapan tradisi kebo-keboan ini berlangssung dan masyarakat akan lebih
mengetahuai hal tersebut.
2.
Mengetahui
dan mengerti pelaksanaan ritual kebo-keboan tersebut.
3.
Mengetahui
tujuan dan dampak ritual ini terhadap masyarakaat setempat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebudayaan berhubungan erat dengan
masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan
istilah Cultural-Determinism yaitu, segala sesuatu yang ada di masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Herskovits memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Andreas Eppink berpendapat bahwa,
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai dan norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri
khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Menurut Sumaatmadja dalam Marpaung
(2000) mengatakan bahwa pada perkembangan,
pengembangan, penerapan budaya
dalam kehidupan, berkembang pula nilai – nilai yang melekat di
masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai
tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Upacara kebo-keboan di Dusun
Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika dicermati secara mendalam,
mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan,
ketelitian, gotong royong, dan religius.
Menurut Durkheim Agama adalah
merupakan suatu sistem yang terpadu terdiri atau kenyakinan dan praktek yang
berhubungan dengan hal-hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang di namakan umat. Dalam
setiap pelaksanan suatu ritual yang sudah turun-temurun maka unsur agama selalu
ada di dalam setiap ritual upacara. Seperti halnya dalam upacara tradisi
kebo-keboan ini sarat akan unsur agama. Nilai religius tercermin dalam doa bersama
yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan
kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.
Unsur-unsur sosial yang pokok
menurut Soerjono Soekanto adalah Kelompok sosial, Kebudayaan, Lembaga sosial,
Stratifikasi sosial, Kekuasaan dan wewenang. Manusia sebagai mahluk sosial yang
tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu,
struktur sosial merupakan alat bagi masyarakat untuk menyelenggarakan tata
kehidupannya sehingga struktur sosial tersebut memiliki fungsi. Sama dengan pelaksanaan Tradisi Kebo-keboan
yang dilaksanakan dengan semangat kebersamaan dan kegotong-royongaan, karena
setiap unsur dari masyarakat tersebut ikut andil didalam prosesi upacara
tersebut, mulai dari acara selamatan, ider bumi, dan acara puncak dari
kebo-keboan tersebut. Maka unsur sosial di dalam kegiatan ini sangatlah sakral
karena tanpa masyarakat sendiri budaya ini lambat laun akan menghilang dan karena
masyarakt juga budaya ini akan tetap terjaga kelestarianya. Nilai kegotong-royongan tercermin
dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling
bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan
makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan suatu acara
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan acara besar-besaran seperti ritual
Kebo-keboan ini yang memakan dana besar maka dibutuhkanlah suatu sponsor untuk mendukung
acara tersebut tetap berjalanRitual ini semula menjadi bagian penting dalam
menjaga tradisi leluhur, oleh karena itu pembiayaannya menjadi tanggung jawab
bersama masyarakat desa.Tetapi mengingat tingkat kesejahteraan masyarakat ,
serta pengaruh budaya modern yang pragmatis, maka sejak tahun 60an
penyelenggara Kebo Keboan di Banyuwangi mulai berkurang, dan hilang pada masa
Orde Baru. Setelah reformasi tradisi Kebo Keboan , muncul kembali didesa
Alasmalang, berkat usaha Seniman Budayawan Sahuni, menggandeng salah satu TV
Swasta untuk menghidupkan tradisi tersebut . Sejak itulah penyelenggaraan Kebo
Keboan , mendapat dukungan sponsor .
Maka seharusnya difahami bahwa
perayaan Kebo Keboan, didesa desa dalam kawasan Golden Triangle Istana
Blambangan, adalah pesan penting dari para leluhur Blambangan bahwa wong
Blambangan mempunyai sejarah yang panjang, jelas dan membanggakan .Maka tidak
aneh , karena bangganya leluhur Blambangan terhadap jati dirinya , maka
kerajaan ini tetap exist sampai tahun 1771, menjadi kerajaan Jawa terakhir yang
tunduk terhadap VOC. Maka pernyataan bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350
tahun dijajah Belanda tidak berlaku untuk Blambangan. Dan perang besar inipun
diakhiri dengan Puputan Bayu. Perang tersadis sepanjang sejarah Nusantara
menurut Dr. Sri Margana . Scholte (1927:146)
berkata : Maka tidak heran penulis sejarah bangsa Belanda Scholte dan Sir
Stanford Rafflees, yang mengetahui dengan detail sejarah suku ini dengan
hormat tetap menyebut suku ini sebagai Suku Blambangan,suku pemberani.
BAB III
METODE
Metode sejarah berasal
dari dua kata yaitu metode dan sejarah. Kata "metode" memiliki arti
cara atau prosedur yang sifatnya sistematis, metode juga dapat diartikan
sebagai langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menjelaskan objek yang
dikajinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah “cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan guna mencapai apa yang telah
ditentukan”. Dengan kata lain metode adalah suatu cara yang sistematis untuk
mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, sejarah adalah semua peristiwa yang
terjadi pada masa lampau. Menurut Sartono Kartodirdjo sejarah dapat
didefinisikan sebagai berbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa
lampau. Setiap pengungkapannya dapat dipandang sebagai suatu aktualisasi atau
pementasan pengalaman masa lampau. Menceritakan suatu kejadian ialah cara
membuat hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa tersebut dengan pengungkapan
verbal.
1.Heuristik
Heuristik adalah suatu teknik, mencari dan mengumpulkan sumber. Jadi Heuristik adalah tahap mencari, mengumpulkan, menghimpun sumber-sumber, jejak-jejak sejarah yang relevan yang diperlukan untuk dijadikan informasi. Tahap ini merupakan tahap pertama yang harus dilakukan dalam merekonstruksi masa lampau. Ketika kita akan merekonstruksi masa lampau, kita harus melakukan pencarian sumber, dalam pencarian sumber perlu diketahui mengenai jenis-jenis sumber.
Heuristik adalah suatu teknik, mencari dan mengumpulkan sumber. Jadi Heuristik adalah tahap mencari, mengumpulkan, menghimpun sumber-sumber, jejak-jejak sejarah yang relevan yang diperlukan untuk dijadikan informasi. Tahap ini merupakan tahap pertama yang harus dilakukan dalam merekonstruksi masa lampau. Ketika kita akan merekonstruksi masa lampau, kita harus melakukan pencarian sumber, dalam pencarian sumber perlu diketahui mengenai jenis-jenis sumber.
Guna menemukan sumber
yang di inginkan tentang “kebo-keboan” tersebut peneliti menggunakan metode
wawancara, pengumpulan data baik dari sumber tertulis maupun secara lisan. Sumber lisan ini dalam bentuk wawancara terhadap masyarakat sekitar desa
Alasmalang yang mengadakan ritual kebo-keboan ini, wawancara terhadap pemangku
adat desa Alasmalang.
2.Kritik Sumber
Sumber untuk penulisan
sejarah ilmiah bukan sembarang sumber, tetapi sumber-sumber itu terlebih dahulu
harus dinilai melalui kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern menilai,
apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan, apakah sumber itu asli,
turunan, atau palsu. Dengan kata lain, kritik ekstern menilai keakuratan sumber
(otentisitas). Kritik intern menilai kesahihannya data dalam sumber
(kredibilitas). Keaslian sumber (otentisitas) adalah peneliti melakukan
pengujian atas asli tidaknya sumber, berarti ia menyeleksi segi-segi fisik dari
sumber yang ditemukan. Bila sumber itu merupakan dokumen tertulis, maka harus
diteliti kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya,
kata-katanya, dan hurufnya.
Keshahihan sumber
(kreedibilitas) yaitu mencari asal muasal sumber berasal karena kesaksian
sumber dalam sejarah adalah faktor terpenting dalam menentukan shahih dan tidaknya
bukti atau fakta itu sendiri. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk
menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam
lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan
kerangka tulisan. di dalam kritik ekesternal terdapat pertanyaan – pertanyaan
yang dianggap perlu untuk mengetahui hal – hal yang kita teliti seperti
apa tradisi ritual “Kebo-keboan”?Apa tujuan dari prosesi adat upacara “kebo-keboan”?dan Bagaimana masyarakat melestarikan
budaya “kebo-keboan” yang sudah turun temurun ini?
3. Interpretasi
Interpretasi atau
penafsiran sejarah disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sejarah
bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari
sumber-sumber. Jadi interpretasi untuk mendapatkan makna dan saling hubungan
antara fakta yang satu dengan yang lainnya. Data atau sumber sejarah yang
dikritik akan menghasilkan fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah.
Namun demikian, sejarah itu sendiri bukanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh,
kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka yang apa¬bila dibaca akan terasa
kering karena kurang mempunyai makna. Fakta-fakta sejarah harus
diinterpretasikan atau ditafsirkan agar sesuatu peristiwa dapat
direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menyeleksi, menyusun,
mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal. Dengan demikian,
tidak hanya pertanyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab,
tetapi juga yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya.
Dalam interpretasi,
seorang sejarawan tidak perlu terkekang oleh batas-batas kerja bidang sejarah
semata, sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi segala aspek kehidupan
manusia. Oleh karena itu, untuk memahami kompleksitas sesuatu peristiwa, maka
mau tidak mau sejarah memerlukan pendekatan multidimensi. Dengan demikian,
berbagai ilmu bantu perlu dipergunakan dengan tujuan mempertajam analisis
sehingga diharapkan dapat diperoleh generalisasi ke tingkat yang lebih
sempurna. Perlu pula dikemukakan di sini, bahwa dalam tahapan interpretasi
inilah subjektifitas sejarawan bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal
itu tak dapat dihindarkan. Walau demikian, seorang sejarawan harus berusaha
sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan tahu posisi dirinya sehingga
nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.
Kebo Keboan jauh dari
pengertian ritual keagamaan, karena sudah tidak berkaitan lagi dengan upacara
keagamaan,melainkan lambang kebesaran Blambangan. Sebagai Lambang Kerajaan ,
maka lambang Kerbau sangat penting untuk jati diri wong Blambangan. Maka tidak heran Sunan Giri ,
yang keturunan darah biru Blambangan .
Beliau adalah putra dewi Sekar Dalu , putri Bhre Pangembangan , cucu Bhree
Wirabhumi , cicit prabu Rajasa Negara ( Hayam Wuruk ),( Wangsa Sanggramawijaya,
Wangsa Isyana Singosari , Wangsa Isyana Kediri , dari putri mahkota Airlangga
yaitu Sanggramawijaya /Dewi Kili Suci
)dengan Maulana IskaK atau Syech Wali
Lanang ( Lelaning Jagad ) , guru para wali , yang memiliki garis keturunan
langsung dari Rasullulah memulai kegiatan keagamaan, dengan membangun pesantren disatu desa yang kemudian
dijuluki Kebo Mas.
Maka seharusnya difahami
bahwa perayaan Kebo Kebo an, didesa desa dalam kawasan Golden Triangle Istana
Blambangan, adalah pesan penting dari para leluhur Blambangan bahwa wong
Blambangan mempunyai sejarah yang panjang, jelas dan membanggakan .Maka tidak
aneh , karena bangganya leluhur Blambangan terhadap jati dirinya ,
4. Historiografi
Historiografi adalah
penyajian hasil interpretasi fakta dalam bentuk tulisan. Dapat dikatakan
historiografi sebagai puncak dari rangkaian kerja seorang sejarawan, dan dari
tahapan inilah dapat diketahui baik buruknya hasil kerja secara keseluruhan.
Oleh karena itu dalam penulisan diperlukan kemampuan menyusun fakta-fakta yang
bersifat fragmentaris ke dalam tulisan yang sistematis, utuh, dan komunikatif.
Dalam penulisan sejarah aspek kronologi sangat penting. Dalam historiografi
modern (sejarah kritis), seorang sejarawan yang piawai tidak lagi terpaku
kepada bentuk penulisan yang naratif atau deskriptif, tetapi dengan
multidimensionalnya lebih mengarah kepada bentuk yang analitis karena dirasakan
lebih ilmiah dan mempunyai kemampuan memberi keterangan yang lebih unggul
dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh sejarawan konvensional dengan
sejarah naratifnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar